Kisah Tertembaknya Pesawat Allan Pope
Akhir Petualangan Elang Pemesta
Kian mengemukanya ketidakpuasan masyarakat dan sebagian aparatur pemerintah di tingkat daerah sebagai ekses dari ketimpangan pembangunan nasional antara pusat dan daerah, menjadi awal dari meletusnya sejumlah pemberontakan yang berkembang menjadi separatisme di masa-masa awal konsolidasi NKRI pasca Periode Perang Kemerdekaan (1945-1949). Keadaan ini semakin membuat stabilitas keamanan nasional kian karut-marut mengingat sejak tahun 1950 di beberapa wilayah Indonesia masih terjadi serangkaian kerusuhan dan pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok separatis. Seperti Repoeblik Maloekoe Selatan (RMS), Darul Islam (DI) dan Angkatan Perang Ratoe Adil (APRA).Puncak ketidakpuasan dari elite-elite penguasa lokal di Sulawesi Utara, adalah dideklarasikannya Piagam Perdjoeangan Semesta atau Pemesta pada tanggal 2 Maret 1957 oleh Panglima Teritorial dan Teritorium (TT) VII Letnan Kolonel Ventje Sumual. Piagam ini mencakup seluruh kawasan Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku, serta ditandatangani oleh sekitar 51 tokoh masyarakat Indonesia bagian timur. Segala upaya diplomatis dan persuasuf pemrintah pusat untuk meredam gejolak tersebut menemui jalan buntu, bahkan kemudianVentje Sumual menyatakan wilayah Indonesia Timur dalam keadaan bahaya.
Situasi kian kritis, ketika Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara (KDMSUT) Mayor D.J. Somba memproklamasikan berdirinya Pemesta dan menyatakan Selawesi Utara serta Tengah memisahkan diri dari pemerintah pusat pada 17 Februari 1958. Tindakan separatis tersebut disikapi pemerintah pusat dengan mengirimkan APRI (Angkatan Perang RI) untuk menguasai dan mengembalikan kewibawaan pusat di seluruh Indonesia Timur.
Guna menundukan kekuatan militer Pemesta yang cukup kuat karena memiliki Skadron Udara AUREV (AU Revolusioner) yang diperkuat sejumlah pesawat pemburu North American P-51 Mustang dan pengebom Douglas B-26 Invader, APRI menggelar Operasi Merdeka yang dipimpin Letkol Rukminto Hendraningrat. Operasi Merdeka selanjutnya dibagi-bagi ke dalam beberapa operasi militer, yaitu Operasi Sapta Marga I/ Sapta Marga II/, Sapta Marga III/Sapta Marga IV/ Mena I/ Mena II.
Secara keseluruhan Operasi Militer merupakan operasi gabungan yang melibatkan unsur-unsur AD, AL, AU dan Polisi, termasuk di antaranya pasukan KKO ALRI dan Brimob AKRI.
KIPRAH PILOT BAYARAN
Penggerakan kekuatan ini cukup beralasan, terutama setelah melihat kenyataan bahwa kekuatan udara AUREV berhasil melakukan serangkaian serangan udara terhadap konsentrasi-konsentrasi pasukan APRI. Belakangan diketahui bahwa keandalan AUREV dalam menggelar sejumlah serangan udara, adalah berkat kehadiran sejumlah pilot asing yang menjadi “tentara bayaran” Pemesta.Keterlibatan pilot-pilot asing tersebut bukannya tanpa alasan, karena diduga ada “permainan intelijen” asing dalam aksi makar Pemesta. Menurut situs wilkipedia, disebutkan bahwa Dinas Intelijen Pusat AS (CIA-Central Intelligen Agency) berada di balik bantuan militer (termasuk pesawat, artileri ringan, pilot tempur) asing kepada pihak Permesta. Salah satu pilot AS yang diterjunkan ke Permesta, adalah Allan Lawrence Pope yang mengoperasikan pesawat pengebom medium B-26 Invader AUREV telah dimodifikasi laras mitraliurnya dari semula enam laras menjadi delapan laras. Konon, pilot yang terdaftar sebagai anggota maskapai penerbangan Civil Air Transport (CAT) tersebut dibayar 10.000 dolar AS sebulan oleh Permesta. CAT adalah perusahaan kamuflase CIA dalam menjalakan berbagai misinya di belahan dunia.
TENGGELAMNYA RI HANG TOEAH
Tak sia-sia Permesta menyewa Allan Pope sebagai “Elang Dirgantara” AUREV. Ia dengan B-26-nya berhasil menenggelamkan korvet ALRI eks AL Belanda RI Hang Toeah di perairan Balikpapan pada tanggal 28 April 1958. RI Hang Toeah saat itu tengah mendukung Operasi Merdeka yang bertujuan membebaskan Sulawesi Tengah dari Permesta.Ketika Diserang, RI Hang Toeah sempat memberikan perlawanan. Namun bom seberat 250 pon jatuh telak mengenai cerobong asap dan meledak di dek ketiga kamar mesin. Akibatnya, setelah terbakar hebat, RI Hang Toeah tenggelam, dengan korban 14 pelaut hilang, empat gugur dan puluhan terluka.
Peristiwa tragis tersebut merupakan pelajaran yang berharga bagi Gugus Tugas Amfibi 21 (ATG-21-Amphibious Task Group 21) APRI pimpinan Letkol KKO H.H.W. Huhnholz yang tengah menggelar Operasi Mena II untuk merebut Morotai dan Permesta. ATG-21 terdiri atas unsur-unsur KKO ALRI, ADRI, Mobile Brigade Polisi, kapal angkut pasukan yang juga kapal komando: RI Sawega, kapal transport RI Bau Masepe, kapal penyapu ranjau Kelas Raum: RI Pulau Raas, RI Pulau Rinja, RI PuLau Rempang, RI Pulau Rengat dan RI Pulau Rusa.
Letkol Huhnholz selaku Komandan ATG-21 memerintahkan anggotanya untuk memasang sebanyak mungkin senjata berat di atas kapal-kapal APRI, seperti mitraliur berat Browning 12,7 mm. Sebagai antisipasi serangan udara AUREV, Huhnholz juga memerintahkan anggotanya berlatih keras dengan senjata masing-masing termasuk latihan peran kebakaran dan evakuasi. Di sini pengguanaan peluru anti pesawat sesungguhnya dipergunakan.
Apa yang dikhawatirkan oleh Huhnholz terbukti. Pukul 06.30 saat kovoi ATG-21 mendekati perairan Pulau Nusa Telu, usai berlatih peran bahaya serangan udara tiba-tiba petugas pengawas melaporkan ada pesawat tak dikenal melintas dari arah Tanjung Barat dan Teluk Ambon menuju konvoi. Setelah memastikan itu pesawat b-26 musuh, dibunyikan sirene tanda bahaya.
Ketika B-26 melejit naik membentuk sudut 45° serempak semua senjata yang terpasang dia atas kapal-kapal ATG-21 menyalak. Dari arah laju pesawat, diketahui bahwa sasaran utamanya adalah RI Sawega yang memuat ratusan personel, logistik dan perlengkapan militer APRI. Benar saja, setelah RI Sawega melakukan manuver cikar kiri, sebuah bom meledak 100 meter di lambung kiri RI Sawega.
Ketika B-26 AUREV berada 200 meter di depan RI Sawega dan membumbung naik, tampak asap mengepul, terbakar. B-26 yang berusaha melarikan diri terus dikejar konvoi ATG-21 sambil dihujani tembakan gencar. Pada ketnggian 6.000 kaki tampak dua awak B-26 meloncat keluar. Saat itu secara bersamaan dari Ambon melesat sebuah P-51 Mustang yang belum diketahui milik siapa (belakangan, baru diketahui milik AURI yang dikemudikan Letnan Penenrbang lgn. Dewanto). Akibatnya, P-51 Mustang tersebut juga ditembaki ATG-21 dan langsung menjauh.
Selanjutnya RI Pulau Rengat diperintahkan untuk menangkap kedua awak B-26 yang mendarat di Pulau Nusa Telu. Akhirnya Pilot AUREV Allen L. Pope dan wingman-nya Jan Harry Rantung berhasil ditangkap. Saat ditangkap kaki Allan Pope patah akibat terbentur ekor pesawat ketika meloncat keluar.
Tertangkapnya Allan Pope segera dilaporkan ke Jakarta namun masih dirahasiakan sampai dapat diungkap jatidiri aslinya. Di sisi lain, peristiwa ini menyebabkan AUREV seketika lumpuh total, tanpa diketahui pasti penyebabnya. Padahal saat itu AUREV masih memiliki unit B-26 dan P-51 Mustang.
Berdasarkan temuan intelijin, dapat diketahui bahwa Allan Pope merupakan pilot rekrutan CIA. Kabar ini kontan menggemparkan Washington D.C. termasuk Presiden Dwight D. Eissenhower.
Sejumlah komentar dan kritikan terdengar di mana-mana. Akhirnya, Allan Pope dan J.H. Rantung diharapkan ke Pengadilan Tentara di Jakarta pada 28 Desember 1959. Pada pengadilan tersebut, Allan Pope dijatuhi hukuman mati dan J.H. Rantung dihukum 15 tahun penjara.
Namun sebelum eksekusi dilaksanakan, AS yang kata itu dipimpn Presiden baru John F. Kennedy, melakukan pendekatan persuasive yang intens dengan Presiden Soekarno untuk membebaskan Allan Pope. Dengan sejumlah kompensasi, akhirnya Amerika berhasil “memboyong” Allan Pope kembali ke negaranya.
(Adi Patrianto Singgih)
Referensi
Majalah Angkasa Edisi koleksi No.61● September 2009